August 11, 2009

Shaf Terdepan


Adzan maghrib berkumandang dengan merdunya memanggil hamba-hambanya yang ta’at mengagungkan-Nya. Aku masih sibuk mandi, setelah beberapa saat sebelumnya bersantai-santai melepas lelah sepulang kerja. Terlambat, ya, aku berfikir bakal terlambat datang ke masjid, karena tepat ketika saya membuka pakaian, bedug di masjid sudah dipukul. Selesai mandi aku langsung ambil air wudhu di kontrakkan.

Dengan memakai koko berwarna hijau, bawahan sarung lengkap dengan peci di kepala, kupenuhi panggilan-Nya di masjid terdekat. Cukup dengan berjalan kaki karena jaraknya yang dekat, bahkan tempat sholatnya saja terlihat dari kontrakan ku.
Sesampainya di masjid, iqomah tengah di kumandangkan. “Alhamdulillah” seru ku di dalam hati. Akupun mendapatkan shaf pertama, karena jamaah di masjid itu cenderung bermalas-malasan untuk mengambil shaf terdepan. Aku berdiri paling kanan ke tiga di belakang imam. Saat itu aku merasa shaf pertama itu masih cukup untuk menampung satu orang lagi disampingku, maka aku sedikit bergeser ke kiri untuk memberi kesempatan kepada ma’mum yang lain yang ada di belakangku mengisinya. Sambil menoleh ke belakang, aku memberikan isyarat kepada anak kecil yang ada di belakang untuk mengisi shaf yang kosong di sebelahku. Miris, sungguh aku merasa miris sekali mendengar orang-orang dewasa di belakangku menanggapi tindakanku itu. “sempit teing, moal muat, enggeus-enggeus ah..!!*”, seru mereka. “MasyaAlloh” aku hanya bisa membatin. Seandainya mereka tau keutamaan sholat di shaf terdepan, aku yakin mereka akan berebut untuk mendapatkannya.
Tapi dalam hati aku masih memberikan pemakluman, namanya juga orang tua, orang kampung lagi, mungkin jalan pemikirannya masih seperti itu. Entahlah, bisa dibenarkan atau tidak pemakluman semacam itu. Hatiku pun berbisik, seharusnya ini menjadi tanggung jawab imam ketika hendak memulai sholat berjama’ah. Tapi lagi-lagi dalam pikiranku mendebat halus, kenapa si imam tidak mengingatkan...?
Aku pun menoleh ke arah imam, “sudah, ia sudah mengingatkan”, hatiku berseru. Tapi memang orang-orang itu yang tidak dengar atau pura-pura tidak dengar. Ya Alloh ampunilah cara berfikirku yang sempit, karena aku sudah ber-suudzhon terhadap mereka yang notabene sesama muslim.
Sholat berjama’ah pun didirikan dengan shaf kurang rapih (baca: rapat) di shaf pertamanya. Pikiranku masih melayang-layang memikirkan apa yang baru saja kualami itu, bahkan sampai imam mengucapkan salam. Astaghfirulloh...!!!
Wallohu a’lam...

* terlalu sempit, tidak akan cukup, sudah-sudah ah!

Malam Nisfu Sya’ban


Sang mentari sempurna sudah bersembunyi di ufuk barat, sang mega merah di langit pun mulai terusir hitamnya malam. Meskipun ada ribuan bahkan jutaan bintang, hanya beberapa yang tampak bersinar, sisanya tak kuasa melawan jarak yang begitu jauh dari bumi ini. Dari balik awan, sang bulan, meskipun nampak purnama penuh, masih malu-malu mengintip. Semeribit angin meniup-niup lembut daun pepohonan yang tengah asyik bertasbih mensucikan asma-Nya.
Di beberapa tempat di muka bumi-Nya ini, berkerumun orang-orang. Di masjid di depan kontrakkanku juga banyak orang yang sedang berkumpul. Pakaiannya bersih, rapi meski masih terkesan seadanya. Sebagian besar laki-laki yang memakai baju ’koko’ dan kain sarung lengkap dengan pecinya, sisanya ibu-ibu, beberapa anak remaja dan anak-anak. ”Mau sholat ’nisfu’”, demikian kira-kira jawaban mereka kalau ditanya mau ngapain pada ngumpul di masjid?
Pikirku melayang-layang, kapan kira-kira peristiwa seperti itu aku jumpai lagi. Ya, aku ingat, orang-orang kampung berkumpul di masjid pada malam 'nisfu sya’ban’, pada malam-malam awal bulan Romadhon, pagi hari idul fitri dan idul adha, malam-malam peringatan ‘muludan’ dan ‘rajaban’. Selebihnya jarang sekali aku jumpai pemandangan seperti itu. Orang-orang kampung, laki-laki, perempuan, tua, muda sampai anak-anak semua keluar rumah untuk pergi ke masjid.
“Alhamdulillah,” gumamku dalam hati, “masih banyak orang yang mau datang ke masjid”. Ya meskipun hanya pada waktu dan acara tertentu setidaknya mereka masih ingat dengan masjid. “Kenapa tidak semua malam itu malam nisfu?” pertanyaan bodoh itu tiba-tiba muncul dalam pikiranku, “atau tiap malam diadain ‘muludan’, ‘rajaban’, kan seru tuh tiap malam banyak orang yang berbondong-bondong pergi ke masjid.” Ah... dasar pikiran bodoh, mana mungkin tiap malam itu ‘muludan’, ‘rajaban’, atau ‘nisfu sya’ban’.
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. Yunus: 5)
Maha Besar Alloh yang telah menciptakan matahari dan bulan dengan orbitnya masing-masing.
Idealisme-ku berontak, mengapa hanya pada malam-malam tertentu saja kita bersemangat pergi ke masjid? Apakah Islam menganjurkan pergi ke masjid hanya pada waktu-waktu tertentu saja? Tidakkah mereka pernah mendengar ancaman Rosululloh tentang rumah yang ada kaum laki-lakinya tapi tidak sholat berjamaah? Tidakkah mereka tau tentang kisah seorang buta yang bertanya kepada Rosululloh tentang kewajiban sholat berjamaah?
Wallohu a’lam
-mazchay-